Di balik gemuruh Sungai Siak (Jantan) yang mengalir tenang, hiduplah seorang pendekar yang namanya melegenda di tanah Melayu Riau yaitu . Namanya bukan sekadar julukan, tapi sebuah simbol kekuatan dan keadilan. Berasal dari Kerajaan Rokan dan tinggal di tepian sungai Siak Kecamatan Senapelan, Kota Pekanbaru, tempat masyarakat hidup sederhana namun sering dihantui ketakutan oleh para bajingan dan penguasa zalim.
Pendekar Singo Barantai atau nama aslinya Tamburin, sejak kecil sudah menampakkan bakat luar biasa dalam silat dengan aliran taralak silek tuo di Perguruan Seni Silat Singo Barantai. Ia belajar dari guru tua bernama Datuak Bungsu, seorang pendekar sepuh yang memilih menyepi setelah kehilangan murid-muridnya dalam perang kerajaan. Di tangan Datuk Bungsu, Tamburin ditempa dengan ilmu silat Minangkabau aliran taralak silek tuo dan teknik silat yang diajarkan di medan nan bapaneh dan medan nan bataduah, yang diwariskan turun-temurun. Namun yang paling ditekankan oleh gurunya bukan kekuatan, melainkan “akal sehat dan hati yang jernih”.
Suatu hari, kampungnya Senapelan, Pekanbaru diserang oleh gerombolan perompak yang dipimpin oleh Rajo Mahkota, bekas panglima kerajaan yang berkhianat dan kini menguasai hutan-hutan sepanjang jalur perdagangan. Mereka merampas hasil tani, memeras warga, dan menculik anak-anak muda untuk dijadikan prajurit bayaran.
Pendekar Singo Barantai tak tinggal diam, dengan mengenakan tanjak hitam ukiran kuning dan pakaian silat kuning bangsawan Kerajaan Rokan, ia menyusup ke markas perompak yang tersembunyi di balik bukit Tiga Timah. Dengan langkah ringan seperti angin dan mata tajam seperti elang, ia mengalahkan satu per satu penjaga. Namun pertempuran sejati baru terjadi ketika ia berhadapan langsung dengan Rajo Mahkota, yang juga ternyata murid sesama dari guru yang sama.
"Aku tak ingin membunuhmu, Rajo Mahkota," kata Pendekar Singo Barantai.
"Kalau begitu, kau datang untuk mati!" sahut Rajo Mahkota sambil menyerang dengan jurus Silat Cakar Mencekam.
Pertarungan mereka berlangsung semalam suntuk. Tanah berguncang, pohon-pohon roboh, dan udara panas karena derasnya serangan. Namun dengan tenang dan sabar, Pendekar Singo Barantai menggunakan jurus selendang taralak, sebuah ilmu silat rahasia yang memanfaatkan tenaga lawan untuk menjatuhkannya. Akhirnya, Rajo Mahkota tumbang, bukan karena kekuatan, tapi karena keangkuhannya sendiri.
Setelah itu, Pendekar Singo Barantai tidak tinggal untuk mendapatkan pujian. Ia pergi meninggalkan Kota Pekanbaru, mengembara ke tempat-tempat yang membutuhkan keadilan, sambil terus mengingat pesan gurunya: “Pendekar sejati tidak butuh disanjung. Ia hadir saat dibutuhkan, dan pergi saat tak lagi diperlukan.”
Cerita Fiksi Karangan : Penulis Blog