DEFISIT transaksi berjalan tidak boleh hanya diatasi dengan strategi jangka pendek lewat penaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi.Pemerintah baru harus melakukan perbaikan jangka panjang.
Mantan Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengatakan agak berat bagi pemerintah baru untuk menekan defisit transaksi berjalan di bawah 3% terhadap produk domestik bruto.
Defisit transaksi berjalan sudah terjadi sejak 1980. Namun, defisit kala itu hanya 1% terhadap PDB karena neraca perdagangan migas surplus. Begitu juga pada 1990, ne raca transaksi berjalan defisit 2% terhadap PDB, tetapi bisa diatasi karena neraca sektor nonmigas surplus.
Tingginya defisit transaksi berjalan hingga 3% terhadap PDB terjadi pada 2010 sampai saat ini. Itu karena subsidi BBM terus meningkat, sedangkan ekspor melemah.
“Sumber persoalan ada di migas dan enggak ada ruang untuk menghindar kendati saat ini bukan momen yang tepat menaikkan harga BBM. Pertumbuhan sedang melambat,“ kata Darmin dalam diskusi Bedah Tuntas Solusi Defisit Transaksi Berjalan di Jakarta, kemarin.
Untuk jangka menengah, saran Darmin, pemerintah perlu mereformasi sektor pajak. Perbaikan investasi juga harus terus dihela.
“Saat ini investasi lebih mengandalkan asing dengan 37% surat utang negara milik asing, 40% saham asing, dan US$25 miliar services primary income dari investasi asing.Deviden saham, bunga obligasi pun asing, yang nilainya Rp300 triliun per tahun,“ papar Darmin.
Cara memperbaiki investasi agar likuid, sambung dia, ialah dengan mendorong penerimaan dari sektor perbankan, misalnya melalui program gemar menabung. Pengamat ekonomi Universitas Atma Jaya Prasetyantoko mengatakan sumber defisit transaksi berjalan terutama dari impor BBM dan impor barang modal. “Karena itu subsidi BBM harus dikendalikan dengan menaikkan harga. Untuk impor barang, bisa diatasi dengan substitusi impor.“
Sementara itu, pemerintah dan BI sepakat melakukan sejumlah langkah pengendalian defisit transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah.“Caranya meningkatkan penggunaan rupiah dalam transaksi di Indonesia, reformasi kebijakan subsidi, memberi insetif bagi investasi asing langsung yang melakukan reinvestasi, serta penerapan lindung nilai oleh BUMN untuk mengelola risiko nilai tukar,“ kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara dalam siaran pers, kemarin. (Ire/RO/X-3) Media Indonesia, 17/10/2014, halaman 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar